Bertahun-tahun yang lalu Ia adalah seorang Samurai besar. Insinyur lulusan terbaik yang diasah oleh Shogun terbaik di sebuah kerajaan di negeri sakura, negeri para pahlawan berjiwa ksatria. Pedangnya tajam penuh gerakan rahasia, setiap tugas bagaikan perang yang diakhiri dengan kemenangan gilang-gemilang
Setiap calon samurai berharap menjadi muridnya, mengharapkan aura energi chi yang melimpah ruah dan rahasia gerakan pedang yang berkilau di ujung senja. Dan Samurai bukanlah guru yang pelit ilmu. Setiap kata-katanya adalah mutiara, selebat pedangnya kepakan kupu-kupu yang menebar ilmu. Jiwanya mengalirkan ilmu untuk semua seperti samudra mengisi relung-relung di sepanjang tanjung. Baginya berperang adalah memberikan makna dari jiwa. Maka setiap langkah yang berawal dari jiwa akan berlari kencang seperti ditiup angin dari ujung benua.
Bertahun-tahun tarian pedangnya mewarnai kemenangan, melecutkan semangat, memberikan makna. Shogun melatihnya, rakyat mendukungnya. Negara sakura bersiap mengangkat seorang Samurai muda menjadi seorang legenda.
Tapi Ia bukanlah seorang penduduk Sakura, Ia hanya Samurai yang lahir di negeri Raya. Ini bukan perang yang pantas untuk pedangnya. "Pedangku tajam, biarlah ia menjadi bintang yang menghidupkan mimpi-mimpi Ibu Pertiwi. Aku ingin melintas bumi menyeberang langit. Aku akan berperang untuknya". Dan sang kuasa gelap menyergap, memasuki mimpi membesarkan ambisi. Saat manusia merasa dirinya besar, disanalah kuasa gelap mengeluarkan cakar.
Maka tahun lalu Ia memutuskan pergi meninggalkan Shogun, di akhir musim gugur, saat bunga sakura merekah indah, saat pesta kemenangan berlangsung dengan meriah. Sang Shogun menundukkan kepala namun tetap tersenyum dengan makna yang tak terbaca. Ia tahu memang sudah tiba saatnya Samurai akan pergi melihat dunia berperang untuk negerinya.
Irama dendang pesta kemenangan terhenti tiba-tiba, waktu berjalan tanpa lelah menelanjangi setiap gerak-geriknya, "apa yang kau cari Samurai?", setiap mata mengedip tak percaya. Senyum samurai lain samar tersembunyi di balik wajah empati,"Satu Samurai telah pergi, dan akulah penggantinya". Shogun menatap iba, namun tak satu kata keluar dari bibirnya. Samurai melangkah pergi, diiringi tanda tanya rakyat, dan pandangan mata sahabat yang berat hati, "Selamat jalan, sahabat".Maka disinilah aku berperang, sahabatku. Menarikan pedang, melepaskan kematian, menghadirkan kemenangan. Katanaku semakin berkelebat bergerak secara rahasia memancarkan kilau putih merona.
Dan setahun berlalu sudah, pedangku telah patah meski tetap tajam terasah. Namun tak pernah disangkanya, negerinya masih menolak seorang pahlawan. Negerinya masih menganggap ia adalah Samurai dari negeri Sakura. Yang berperang hanya untuk uang dan nama. Tapi negeri Sakura telah menolaknya sebagai Samurai. Kehormatan itu telah usai.
Seorang Samurai tidak akan meninggalkan Shogun, malah seorang Samurai akan lebih memilih harakiri. Dan mereka semua menyebutnya sebagai Ronin. Ronin, Samurai yang tidak memiliki Shogun, tanpa wilayah, tanpa rakyat dan berperang untuk dirinya sendiri.
Dan diujung malam itu Ia termenung di bawah kemilau kota penuh cahaya lampu. Baju samurai telah berganti kemeja kelabu dan dasi hitam bergaris perak biru. Jas hitam teruntai tergenggam bersama tas notebook gelap kelabu.
Hatinya tercabik. Lihatlah sisa-sisa seorang Samurai yang berjalan dengan gontai. Pedangnya masih tajam terhunus lunglai. Sejuta perang masih sanggup dilakunya, tarian kematiannya masih menghantarkan nyawa. Namun apalah artinya jika kemenangan hanya untuk dirinya. Jiwanya tetaplah seorang Samurai dan seorang Samurai berperang untuk sebuah makna, bukan untuk nama...
Tapi dunia berkhianat memberikannya sebuah nama : "Ronin"
Seorang Ronin...
Dengan pedang patah...
(Jakarta, 14 December 2008)
===========================================================
Seorang Ronin dengan Pedang Patah
Lelaki menghunus pedang di ujung malam sayat sembilu
Patah terbelah darah mengalir hulu
Telah kukembara dunia
Hidup dalam ethereal tak nyata
Lihatlah siapa yang masih berdiri
Kain tercabik cabik kaki lelah menari
Waktu menumpukkan usia
Kerakal menghantam raga
Biarkan hari ini aku menari sekali lagi
Menyanyikan kebekuan teriakkan kesunyian
Kucambuk anginmu kucumbu imajimu
Menantang musim untuk tidak datang mengganti alamku
Oo masihkah kau terpukau
Cahayaku pudar tak lagi silau
Oo masihkan kau takjub
Auraku jelaga tak lagi memancarkan hidup
Lihatlah aku menarikan pedang melepaskan kematian
Lihatlah aku melelehkan matahari membekukan air dewi
Kuikat embun kumasak langit kugenggam alam
Sampai tak lagi kurasakan sakit siang berganti malam
Sampai tak lagi
Pedangku patah kurasakan menembus nadi
Aku terhanyut dibawa goresan kata-kata mas Imam.
ReplyDelete