Sunday, December 21, 2008

Ruang Takdir | Cinematics 2

Matanya terbuka dengan perlahan. Pendar cahaya mulai menemukan fokus, menjernihkan pandangan yang semula kabur. Ruang itu senyap. Kegelapan pekat tak segan untuk menyergap, satu-satunya sumber cahaya adalah imaji-imaji di dinding seperti kilasan peristiwa diputar dalam sebuah sinema. Ruangan itu seperti koloid, setengah padat setengah liquid. Lingkaran sempurna, sebuah kubah dengan lantai hitam granit mengkilat. Dinding hitam berbayang, sesaat membentuk formasi yang kokoh, sesaat liat seperti aspal berbayang terkena panas menyengat.

Perlahan Ia tersadar, dinding-dinding ini, kilasan-kilasan peristiwa yang berputar di dalam kubah, suara mendengung seperti jutaan lebah.
"Ini ruang takdirku. Terakhir ku berdiri disini setahun yang lalu"

Ia mendekat ke titik nol. Ke sisi dinding dimana cahaya putih berputar merona. Mendekat hingga tubuhnya dan dinding berjarak hanya sedepa. Di titik nol adalah saat ruhnya ditiupkan ke dunia. Tidak ada imaji kecuali pendar cahaya. Imaji yang merupakan refleksi dari memori. Searah jarum Ia berjalan, mengurai garis takdir dalam imaji-imaji memori berisi kilasan peristiwa.

Satu tahun
Imaji yang sangat kabur. Seorang anak kecil tertawa-tawa, bermain didekapan kasih orang tua. Yang tersaji hanyalah sebuah tempat dengan pohon mangga dan ayunan. Belakang rumahnya.
Lima tahun
Seorang anak termenung, belum waktunya untuk anak sekecil itu. Anak-anak lain berlari berkejaran, tawa riang tak mampu memecah kesunyian di dalam. "Apa yang kaupikirkan, wahai tubuh kecilku? Jangan berkelahi dengan waktumu"
10 tahun
Lapangan bola, anak-anak menendang dan berlari. Ia tak dapat melihat dirinya. Tunggu...Itu dirinya, di ujung lapangan. Meredam keramaian dalam lamun kesendirian. Dan tiba-tiba imaji berubah, seorang anak mengaji. Anak-anak lain berlari. Sebuah masjid hijau tua mendekati senja.
15 tahun
Sebuah pintu terbanting, seorang remaja menangis takut dalam sebuah kamar gelap. Perpisahan. Kerinduan. Keinginan. Seorang remaja tertawa, aula sekolah. Seorang remaja berjalan diatas rel kereta, kembali menyerap suara dalam hening angannya. Seorang remaja menulis surat cinta. Subuh, pagi buta. Berjanji di depan masjid tua.
18 tahun
Sepasang remaja tersenyum, bergandengan tangan menuju aula. Sebuah panggung gelap dengan tirai hitam, seorang remaja berteriak dalam siluet menarikan pisau dan tawa, musik dan alunan puisi teaterikal membahana. Sunyi, seorang remaja dini hari tenggelam dalam kertas dan angka-angka. Pagi hari, seorang remaja bersujud. Sebuah kebebasan melepaskan. Sunyi menyengat, seorang remaja memandang senja dengan penuh harap.
21 tahun
Imaji yang penuh warna. Sesaat cinta, seorang pemuda mendekap kerinduan. Kampus yang sunyi seorang pemuda berteriak menantang bumi. Langit yang penuh bintang, seorang pemuda tergeletak di atas atap memainkan alunan lagu cinta. Sakit menyergap hati, seorang pemuda terduduk dibawah deras hujan mendera bumi.
25 tahun
Seorang pemuda tegap berdiri. Seorang samurai gagah nan berani. Seribu pasukan berteriak menunggu perintah yang dinanti. Shogun penguasa wilayah tersenyum menepuk bahunya dengan senang hati. Perang belum usai, namun kemenangan dalam genggaman. Samurai tersenyum namun hati merenung menatap dunia yang tiba-tiba mendua.
28 tahun
Seorang Ronin. Dengan pedang patah. Menatap dunia dengan hampa amarah. Pedang terhunus tajam. Siapapun yang menghadang akan jatuh dalam tebasan pedang, patah namun tajam terasah.

Dan imaji-imaji itu telah habis, berganti turbulensi warna dan peristiwa yang buram dan silih berganti. Telah setengah lingkaran dilaluinya, dan tidak ada lagi yang bisa Ia baca. Hanya kilasan peristiwa dan titik-titik yang dihubungkan oleh garis mengurai di atasnya. Seperti membaca desain kapal di kertas kalkir diatas meja berlapis mika putih dengan lampu terang bersinar di bawahnya.

Tahun lalu Ia menghadapi imaji yang sama. Dengan masih berjubah samurai dan pedang tajam yang berkilat dari gagang hingga ujung. Tahun lalu Ia tancapkan ujung pedang ke dalam imaji itu. Mengurai garis-garis dalam dinding. Dengan pandangan kokoh, disalurkannya mimpinya melalui pedang sehingga tergambar dalam imaji.
Tahun lalu. Setahun yang lalu. Digambarkannya takdir dari sebuah mimpi.

Tapi kini pedangnya telah patah, dan seberkas ragu menyergap dengan gundah. Apa yang akan kugambarkan untuk tahun depan? Lima tahun depan? Sepuluh tahun depan? Masihkah pedangku menyalurkan mimpi-mimpi? Masihkah dapat kugambarkan imaji. Masihkan takdir merelakanku menentukan satu gambar lagi?

Sesaat kakinya goyah, jatuh terduduk dan mata menatap rendah. Pedangnya ditancapkan ke bumi, secara surealis menembus granit dan gagangnya menantang langit. Tangannya menumpu pada gagang. Mimpi-mimpi berkejaran di dalam hati yang buncah. Irama yang terganggu dan meledak dalam sebuah bifurkasi hati. Tak sanggup ia memandang ke depan, meski kokoh hati masih ingin menarikan lagi kepakan kupu-kupu ke antero bumi.

Namun dari ujung pedangnya yang menancap di bumi secercah cahaya menggeliat seperti kilatan petir berputar lambat. Cahaya itu merambat ke depan, naik mengisi kegelapan dinding dan berputar menggambarkan sebuah imaji yang samar. Takdirnya menjawab. Ia menengadah, tangan masih bertumpu di atas gagang pedang, bertumpu sangat lemah. Dalam duduk, menatap imaji yang diberikan oleh takdir untuknya. Imaji dirinya, jawaban atas pertanyaan mimpinya.

Dan dalam imaji itu berdirilah seorang Shogun - menatapnya dengan senyum...
===============================================

Back to one of the most favorit quotes of mine :
They said our live is a blank canvas

And our mind is a set of brushes
And our soul is a colorful paint in a palletes

So the question is :

"What would you paint?
"

(Jakarta, 20 Desember 2008)

3 comments:

  1. Tulisan yang bagus dan cerdas..

    ReplyDelete
  2. Wah, tulisannya runtut, konseptual, dan naratif skali.

    Salam kenal, bang. Maaf bru mnyempatkn dri brkunjung...

    http://rabindrasahara.blogspot.com/

    ReplyDelete